Rabu, 24 April 2013

Sagu sumber makanan pokok alternatif



Sagu, sumber makanan pokok alternatif tempo dulu ...
 Rumpun Sagu (foto repro)

            Sagu yang bahasa latinnya (Metroxylon sago) atau Onggok dalam bahasa Jawa adalah termasuk suku pinang-pinangan atau Arecaceae. Pohon sagu  tumbuh subur di lembah dan ngarai berair tawar. Pohon sagu bisa tumbuh mencapai tinggi 10 m. berdiameter lebih kurang 50 cm.  Beranak pinak membentuk dapur atau rumpun yang padat sekali. Pohon sagu kecil terkenal dengan istilah jawa “rosulo”, dan setelah besar terkenal dengan “onggok”. Pohon sagu disebut-sebut sebagai tempat resapan air tanah yang paling baik, terbukti dengan banyaknya oase/sendang/danau tersebar di desa penulis. 

Melit : Proses pembuatan atap rumbia/welit

Sagu dahulu tumbuh subur di desa penulis, hampir sepertujuh wilayah desa Bulumanis lor dahulu adalah tempat hidup pohon sagu , sagu yang dahulu dirawat sebagai bahan baku bangunan rumah dengan memanfaatkan daunnya  untuk membuat atap ( payon), mengingat rumah di wilayah penulis dahulunya tidak menggunakan atap genting, melainkan menggunakan atap rumbia yang bahan bakunya diambil dari daun sagu ini. juga dimanfaatkan sebagai makanan pokok alternatif pengganti beras dan jagung. Namun setelah pertumbuhan penduduk mengalami perkembangan, pelan tapi pasti populasi sagu semakin terdesak dan dibabat berganti lahan perumahan, yang berakibat  menurunnya cadangan air tanah di dalam tanah akibat dibabatnya lahan sagu ini. sagu kini di desa penulis semakin terdesak dan populasinya semakin jarang ditemui.
Atap payon/welit

Dalam postingan kali ini penulis kepingin bernostalgia mengingat masa kecil penulis yang biasa makan sagu sebagai makan pokok alternatif pengganti nasi beras, jagung dan ketela dengan aneka pekerjaan dan olahannya:

Proses pengolahan sagu :

Potongan sagu siap di belah ( foto repro)
Penebangan :
                Untuk mendapatkan sagu biasanya diperoleh menebang langsung di lahan sagu dengan terlebih dahulu memotong tandan daunnya, setelah tandan daun terpotong barulah pohon sagu di tebang dengan jalan di tarik dengan tali dandan dan pangkal bawahnya di potong memakai kapak. Setelah pohon sagu rubuh barulah dipotong-potong seukuran panjang 150 cm. Kemudian potongan pohon sagu ini di belah kulitnya dan di congkel isinya untuk proses selanjutnya.

Penggilingan :
Congkilan sagu siap di giling (foto repro)

                Pohon sagu yang telah di congkel isinya kemudian di tumbuk menggunakan lumpang/ lesung dengan alu, sehingga sagu menjadi hancur dan halus, proses ini sekarang menggunakan mesin penggiling yang modern sehingga menghasilkan gilingan yang halus dengan tempo cepat dan mendapatkan olahan yang besar pula.

Pengobokan :
                Untuk mendapatkan tepung sagu diperlukan proses pengobokan atau dalam jawa terkenal dengan istilah “nggombang”. Model tradisional dan skala kecil pengobokan  menggunakan wadah ngaron, ngaron adalah wadah tembikar dari tanah yang dibakar, kemudian ngaron ditutup dengan kain kasa lembut dan diikat pada mulut ngaron. Setelah itu sagu yang telah digiling atau dihaluskan ditaruh dalan gombangan pada mulut ngaron yang di beri air bersih sambil diremas-remas, sehingga tepung sagu akan larut bersama air dan mengendap di dasar ngaron. Sedangkan ampas sagu dikumpulkan dan di taruh didalam tempat khusus untuk pembuatan lahan jamur sagu.

 Pengobokan skala besar melibatkan banyak orang ( repro solopos)

Pengeringan :
                Setelah proses pengobokan selesai, biasanya air yang tersisa dalam ngaron dibuang dan tepung sagu ditiriskan,  tepung sagu yang telah diambil dari ngaron ini kemudian dijemur untuk menghilangkan kandungan air dalam tepung.

Pengolahan :
                Tepung sagu yang telah di keringkan ini bisa diolah menjadi beberapa makanan olahan, dan yang paling berkesan bagi penulis kecil adalah olahan yang dipakai untuk bahan makanan pokok yang bernama “ inthil “. Inthil ini boleh di bilang nasi dari sagu, dan proses pengolahannya tidak sama seperti pada mengolah papeda di Papua atau di Maluku. Papeda lebih menyerupai bubur kanji, sedang inthil lebih serupa dengan sekoteng yang bulat dan kecil berwarna kecoklatan. Inthil ini lebih nikmat dimakan dengan parutan kelapa.

 Pitza Sagu / ender-ender (foto repro)

Kecuali inthil ada juga pitza dari tepung sagu ini, pitza yang satu ini terkenal banget dengan nama “ender-ender”, Cuma bedanya pitza menggunakan toping aneka saus, daging dan sayuran sedangkan ender-ender tidak berbumbu sama sekali sehingga rasanya hambar, entoh demikian ender-ender dahulu ketika penulis masih kecil sangat populer dan disuka. 

 Hoyok-hoyok (foto repro)

Makanan olahan tradisional yang lain kecuali inthil dan ender-ender, masih ada lagi olahan yang sangat populer kala itu, namanya “hoyok-hoyok”. Hoyok-hoyok hampir sama dengan jenang, cuma bedanya kalau jenang menggunakan campuran gula merah sementara hoyok-hoyok tidak menggunakan campuran sama sekali, sehingga rasa hoyok-hoyok ini anyep, dan untuk menghidangkan biasanya hoyok-hoyok di potong kecil-kecil dan dikasih parutan kelapa yang di garami sedikit untuk menambah cita rasa yang gurih.
Kini di jaman yang telah maju makanan  inthil yang dahulu sebagai bahan makanan pokok telah tergantikan nasi putih, inthil, ender-ender serta hoyok-hoyok sekarang di jajakan di pasar-pasar tradisional sebagai jajan pasar dan merupakan warisan nenek moyang yang perlu di lestarikan sebagai bagian kekayaan kuliner Nusantara.

Olahan Sagu yang lain :

Jamur Sagu yang siap panen (foto repro)
Ampas sagu :
                Ampas sagu yang tidak terpakai lagi dalam proses pengobokan, masih bisa digunakan dalam pembibitan jamur alami, ampas sagu biasanya akan ditempatkan dalam lahan yang telah disiapkan dan diberi penutup/ teduhan dari sinar matahari. Oleh proses alam ampas sagu ini akan mengalami pembusukan dan fermentasi, biasanya akan ditumbuhi jamur, jamur yang dihasilkan ini sama dengan jamur merang yang rasanya legit dan gurih sekali. Jamur ampas sagu biasanya diambil sebelum mekar dan sifatnya masih terbungkus lapisan tudung luarnya, kalau diambil yang sudah mekar biasanya rasa jamurnya kurang enak. Lahan jamur ini kalau pada musim kemarau biasanya sesekali di ciprati air untuk menjaga kelembabannya.

 Ulat sagu atau gendu (foto repro)

Ulat sagu :
                Batang sagu bagian pucuk biasanya tidak mengandung tepung, dan bagian pucuk ini dibiarkan berada dilahan sampai busuk, oleh proses alam pucuk batang sagu  akan ditumbuhi ulat sagu, atau terkenal dengan nama “gendu”. Gendu  sebenarnya ulat dari larva kumbang sagu atau di jawa terkenal dengan nama “temberang”. Berbagai suku pedalaman di Nusantara memakan ulat sagu ini sebagai sumber protein, mengingat ulat sagu kandungan gizinya sangat tinggi.


Kumbang sagu / Temberang


                Didesa penulis-pun ulat sagu dahulu dimakan dengan terlebih dahulu dimasak bumbu kare dengan santan yang kental sekali. Kini disaat penduduk desa penulis sudah mapan dalam beragama, kebiasaan makan ulat sagu ini telah ditinggalkan, karena haram. Dalam IPA kumbang dalam daur hidupnya mengalami metamorfosis sempurna, yaitu dari telur kumbang temberang menetas menjadi ulat (gendu), dan dari ulat berubah menjadi kepompong, dari kepompong menjadi temberang dewasa atau sempurna. Hewan-hewan yang dalam perkembangannnya melalui metamorfosis sempurna ini haram dimakan.
                Pada waktu penulis masih kecil, kumbang sagu atau temberang ini menjadi mainan yang mengasyikkan, dengan jalan di ikat kaki belakangnya menggunakan benang dan diberi beban yang mampu dibawa kumbang terbang, kemudian temberang ini di terbangkan dengan jalan di tiup atau di timang-timang. Setelah kumbang terbang akan dilepas dan kumbang akan menarik beban di angkasa, kesempatan ini kemudian dikejar beramai-ramai.


Papeda/bubur sagu makanan pokok di Papua dan Maluku


2 komentar: