Sagu, sumber makanan pokok alternatif
tempo dulu ...
Rumpun Sagu (foto repro)
Sagu yang
bahasa latinnya (Metroxylon sago) atau Onggok dalam bahasa
Jawa adalah termasuk suku pinang-pinangan atau Arecaceae. Pohon sagu tumbuh subur di lembah dan ngarai berair
tawar. Pohon sagu bisa tumbuh mencapai tinggi 10 m. berdiameter lebih kurang 50
cm. Beranak pinak membentuk dapur atau
rumpun yang padat sekali. Pohon sagu kecil terkenal dengan istilah jawa “rosulo”,
dan setelah besar terkenal dengan “onggok”. Pohon sagu disebut-sebut
sebagai tempat resapan air tanah yang paling baik, terbukti dengan banyaknya
oase/sendang/danau tersebar di desa penulis.
Melit : Proses pembuatan atap rumbia/welit
Sagu dahulu tumbuh
subur di desa penulis, hampir sepertujuh wilayah desa Bulumanis lor dahulu adalah
tempat hidup pohon sagu , sagu yang dahulu dirawat sebagai bahan baku bangunan
rumah dengan memanfaatkan daunnya untuk
membuat atap ( payon), mengingat rumah di wilayah penulis dahulunya
tidak menggunakan atap genting, melainkan menggunakan atap rumbia yang bahan
bakunya diambil dari daun sagu ini. juga dimanfaatkan sebagai makanan pokok
alternatif pengganti beras dan jagung. Namun setelah pertumbuhan penduduk mengalami
perkembangan, pelan tapi pasti populasi sagu semakin terdesak dan dibabat
berganti lahan perumahan, yang berakibat menurunnya cadangan air tanah di dalam tanah
akibat dibabatnya lahan sagu ini. sagu kini di desa penulis semakin terdesak
dan populasinya semakin jarang ditemui.
Atap payon/welit
Dalam
postingan kali ini penulis kepingin bernostalgia mengingat masa kecil penulis
yang biasa makan sagu sebagai makan pokok alternatif pengganti nasi beras,
jagung dan ketela dengan aneka pekerjaan dan olahannya:
Proses pengolahan sagu :
Potongan sagu siap di belah ( foto repro)
Penebangan :
Untuk
mendapatkan sagu biasanya diperoleh menebang langsung di lahan sagu dengan
terlebih dahulu memotong tandan daunnya, setelah tandan daun terpotong barulah
pohon sagu di tebang dengan jalan di tarik dengan tali dandan dan pangkal bawahnya
di potong memakai kapak. Setelah pohon sagu rubuh barulah dipotong-potong
seukuran panjang 150 cm. Kemudian potongan pohon sagu ini di belah kulitnya dan
di congkel isinya untuk proses selanjutnya.
Penggilingan :
Congkilan sagu siap di giling (foto repro)
Pohon
sagu yang telah di congkel isinya kemudian di tumbuk menggunakan lumpang/
lesung dengan alu, sehingga sagu menjadi hancur dan halus, proses ini sekarang
menggunakan mesin penggiling yang modern sehingga menghasilkan gilingan yang
halus dengan tempo cepat dan mendapatkan olahan yang besar pula.
Pengobokan :
Untuk
mendapatkan tepung sagu diperlukan proses pengobokan atau dalam jawa terkenal
dengan istilah “nggombang”. Model tradisional dan skala kecil pengobokan menggunakan wadah ngaron, ngaron adalah wadah
tembikar dari tanah yang dibakar, kemudian ngaron ditutup dengan kain kasa
lembut dan diikat pada mulut ngaron. Setelah itu sagu yang telah digiling atau
dihaluskan ditaruh dalan gombangan pada mulut ngaron yang di beri air bersih
sambil diremas-remas, sehingga tepung sagu akan larut bersama air dan mengendap
di dasar ngaron. Sedangkan ampas sagu dikumpulkan dan di taruh didalam tempat
khusus untuk pembuatan lahan jamur sagu.
Pengobokan skala besar melibatkan banyak orang ( repro solopos)
Pengeringan :
Setelah
proses pengobokan selesai, biasanya air yang tersisa dalam ngaron dibuang dan
tepung sagu ditiriskan, tepung sagu yang
telah diambil dari ngaron ini kemudian dijemur untuk menghilangkan kandungan
air dalam tepung.
Pengolahan :
Tepung
sagu yang telah di keringkan ini bisa diolah menjadi beberapa makanan olahan,
dan yang paling berkesan bagi penulis kecil adalah olahan yang dipakai untuk
bahan makanan pokok yang bernama “ inthil “. Inthil ini boleh di bilang
nasi dari sagu, dan proses pengolahannya tidak sama seperti pada mengolah
papeda di Papua atau di Maluku. Papeda lebih menyerupai bubur kanji, sedang inthil
lebih serupa dengan sekoteng yang bulat dan kecil berwarna kecoklatan. Inthil ini
lebih nikmat dimakan dengan parutan kelapa.
Pitza Sagu / ender-ender (foto repro)
Kecuali inthil
ada juga pitza dari tepung sagu ini, pitza yang satu ini terkenal banget dengan
nama “ender-ender”, Cuma bedanya pitza menggunakan toping aneka saus,
daging dan sayuran sedangkan ender-ender tidak berbumbu sama sekali sehingga
rasanya hambar, entoh demikian ender-ender dahulu ketika penulis masih kecil
sangat populer dan disuka.
Hoyok-hoyok (foto repro)
Makanan olahan
tradisional yang lain kecuali inthil dan ender-ender, masih ada lagi olahan
yang sangat populer kala itu, namanya “hoyok-hoyok”. Hoyok-hoyok hampir
sama dengan jenang, cuma bedanya kalau jenang menggunakan campuran gula merah
sementara hoyok-hoyok tidak menggunakan campuran sama sekali, sehingga rasa
hoyok-hoyok ini anyep, dan untuk menghidangkan biasanya hoyok-hoyok di potong
kecil-kecil dan dikasih parutan kelapa yang di garami sedikit untuk menambah
cita rasa yang gurih.
Kini di jaman
yang telah maju makanan inthil yang
dahulu sebagai bahan makanan pokok telah tergantikan nasi putih, inthil, ender-ender
serta hoyok-hoyok sekarang di jajakan di pasar-pasar tradisional sebagai jajan
pasar dan merupakan warisan nenek moyang yang perlu di lestarikan sebagai
bagian kekayaan kuliner Nusantara.
Olahan Sagu yang lain :
Jamur Sagu yang siap panen (foto repro)
Ampas sagu :
Ampas
sagu yang tidak terpakai lagi dalam proses pengobokan, masih bisa digunakan
dalam pembibitan jamur alami, ampas sagu biasanya akan ditempatkan dalam lahan
yang telah disiapkan dan diberi penutup/ teduhan dari sinar matahari. Oleh proses
alam ampas sagu ini akan mengalami pembusukan dan fermentasi, biasanya akan
ditumbuhi jamur, jamur yang dihasilkan ini sama dengan jamur merang yang
rasanya legit dan gurih sekali. Jamur ampas sagu biasanya diambil sebelum mekar
dan sifatnya masih terbungkus lapisan tudung luarnya, kalau diambil yang sudah
mekar biasanya rasa jamurnya kurang enak. Lahan jamur ini kalau pada musim
kemarau biasanya sesekali di ciprati air untuk menjaga kelembabannya.
Ulat sagu atau gendu (foto repro)
Ulat sagu :
Batang
sagu bagian pucuk biasanya tidak mengandung tepung, dan bagian pucuk ini
dibiarkan berada dilahan sampai busuk, oleh proses alam pucuk batang sagu akan ditumbuhi ulat sagu, atau terkenal dengan
nama “gendu”. Gendu sebenarnya
ulat dari larva kumbang sagu atau di jawa terkenal dengan nama “temberang”.
Berbagai suku pedalaman di Nusantara memakan ulat sagu ini sebagai sumber
protein, mengingat ulat sagu kandungan gizinya sangat tinggi.
Kumbang sagu / Temberang
Didesa
penulis-pun ulat sagu dahulu dimakan dengan terlebih dahulu dimasak bumbu kare
dengan santan yang kental sekali. Kini disaat penduduk desa penulis sudah mapan
dalam beragama, kebiasaan makan ulat sagu ini telah ditinggalkan, karena haram.
Dalam IPA kumbang dalam daur hidupnya mengalami metamorfosis sempurna, yaitu
dari telur kumbang temberang menetas menjadi ulat (gendu), dan dari ulat
berubah menjadi kepompong, dari kepompong menjadi temberang dewasa atau
sempurna. Hewan-hewan yang dalam perkembangannnya melalui metamorfosis sempurna
ini haram dimakan.
Pada
waktu penulis masih kecil, kumbang sagu atau temberang ini menjadi mainan yang
mengasyikkan, dengan jalan di ikat kaki belakangnya menggunakan benang dan
diberi beban yang mampu dibawa kumbang terbang, kemudian temberang ini di
terbangkan dengan jalan di tiup atau di timang-timang. Setelah kumbang terbang akan
dilepas dan kumbang akan menarik beban di angkasa, kesempatan ini kemudian
dikejar beramai-ramai.
Papeda/bubur sagu makanan pokok di Papua dan Maluku
keren artikelnya... terima kasih banyak...
BalasHapusyoooi !
Hapus