Minggu, 30 Maret 2014

Lamporan



Lamporan
Tradisi unik mengusir roh jahat bagi komunitas “cah angon” kerbau.

            Tradisi ini entah siapa yang memulainya, tapi yang pasti saat penulis masih kecil tradisi ini menjadi salah satu hiburan tersendiri  yang diselenggarakan setahun sekali. Namun sebelum penulis menceritakan prosesi lamporan terlebih dahulu ada beberapa istilah populer bagi masyarakat Bulumanis lor seputar berternak kerbau.

Kebo / Kerbau :
            Kerbau (Bubalis carabauesis) adalah binatang mamalia memamah biak yang menjadi hewan ternak bagi banyak bangsa didunia terutama di Asia, sebagai binatang ternak, di berbagai belahan dunia kerbau tidak hanya diambil dagingnya sebagai sumber protein, melainkan juga diambil susunya sebagai bahan pembuatan keju. Di India daging kerbau menjadi hasil eksport utama, kecuali itu kerbau di india dimanfaatkan sebagai penarik andong.

            Di Indonesia khususnya di Jawa kerbau kecuali dimanfaatkan daging, susu, kulit juga dimanfaatkan sebagai tenaga membajak sawah yang sangat populer sampai saat ini. Membajak sawah dalam hal ini lebih terkenal dengan istilah “ ngluku dan nggaru “, ngluku adalah membalik tanah menggunakan alat bajak yang bernama “waluku”. Sedangkan nggaru adalah meratakan tanah hasil bajakan dengan alat “Garu “ sebelum proses tanam padi. Kerbau ini termasuk binatang ternak yang mudah berkembang biak, anak kerbau ini sering disebut dengan sebutan “ Gudel “.

           
Maeso :
            Maeso mengambil istilah kirata basa jawa yang berarti “ omah roso “ atau kalau di Indonesiakan berarti “ rumah yang kuat “. Mengingat rumah atau kandang kerbau ini harus di desain kuat dari desakan kerbau yang sangat kuat. Sehingga pembangunan kandang kerbau ini harus benar-benar kuat,  tiang-tiangnya yang terbuat dari bambu ini harus ditanam dalam tanah yang cukup dalam. Saat ini kandang kerbau  telah tersentuh material modern semisal genting press dan atap asbes. Namun bagi penulis kecil kandang-kandang kerbau di Bulumanis lor kala itu semuanya beratapkan rumbia ( welit ).

Bediangan :
            Bediangan atau perapian yang biasanya berguna mengusir nyamuk yang menggigit kerbau ini terbuat dari jerami atau sisa-sisa makanan kerbau yang sudah tidak dimakan, oleh pemilik kerbau biasanya dibakar dan menghasilkan asap yang dapat mengusir nyamuk.

 Cemplong bolong :
            Cemplong bolong adalah sebutir buah kelapa yang dilobangi dan dimakan hama Bajing, yang umum lobang itu hanya satu namun ada satu kelapa yang dilobangi bajing sampai dua lobang, dan ini menjadi sesuatu yang tidak umum alias jarang terjadi. Oleh pemilik kerbau jaman dulu cemplong bolong ini dianggap memiliki sebuah “ manna “ atau memiliki kekuatan magis. Sehingga keberadaannya di taruh dalam kandang kerbau sebagai penunggu kerbau. Cemplong bolong ini biasanya oleh pemilik kerbau di gantung di atap sisi dalam kandang kerbau. Dan tidak semua kandang kerbau memiliki cemplong bolong ini.

Cah Angon :
            Cah angon / anak gembala adalah anak yang tugas sehari-harinya menggembalakan kerbau di sawah dan sepanjang tanggul sawah dan tambak, profesi cah angon ini biasanya disandang bagi anak-anak putus sekolah atau tidak sekolah sama sekali, mengingat menggembala kerbau ini dari pagi sampai sore hari, dan nyaris tidak mungkin dilaksanakan bagi anak sekolahan. Sehingga profesi cah angon ini mendapat stigma sebagai bocah/anak yang tidak mengenal  dunia pendidikan, berperilaku urakan dan semaunya. 

Jangos :
            Jangos adalah penutup mulut kerbau bila kerbau di giring dipinggir sawah untuk melindungi agar kerbau tidak memungut padi, hal ini penting mengingat kerbau sambil berjalan biasanya mampu memungut padi ( nyeot ,jawa ). Dan ini berarti penggembala berisiko dimarahi pemilik padi / sawah.

Lamporan tradisi yang di lupakan :
Tradisi ini di era tahun tujuh puluhan awal sangat populer di kalangan petani sawah, khususnya bagi komunitas cah angon atau penggembala kerbau di berbagai daerah di jawa. Tak ketinggalan di desa penulis sendiri Bulumanis lor. Tradisi mengusir roh jahat yang bersemayam pada ternak kerbau ini di kemas dengan aneka atraksi saling pukul obor antar sesama ( perang obor ). 
 Arak-arakan Lamporan
Kerbau-kerbau kala itu tidak boleh di kandangkan di pemukiman penduduk dengan alasan kebersihan dan pencemaran udara dari bau kotoran kerbau, sehingga kerbau-kerbau di Bulumanis lor  di kandangkan menjadi satu lokasi di tanah GG ( tanah kosong ) milik desa. Tanah GG itu dahulu  di sebut dengan “ pojok mbango “. Kebetulan memang lokasi tanah GG itu terletak diujung desa Bulumanis lor sebelah timur berdekatan dengah lahan sawah dan sungai Bango. Sehingga prosesi Lamporan  start dan berakhir di kawasan pojok mbango tersebut.
 Kesenian Barongan
Prosesi Lamporan ini biasanya dilaksanakan pada malam hari sehabis magrib, acara dimulai dengan do’a bersama meminta keselamatan kepada Allah SWT. Agar semua kerbau-kerbau yang di ternak selamat dari segala mara bahaya, mengingat kerbau pada waktu itu tenaganya sangat dibutuhkan bagi kelangsungan pekerjaan membajak sawah. Dalam do’a bersama ini disediakan aneka sesaji dan nasi khas ambengan.
Dalam prosesi lamporan ini peserta disyaratkan membawa obor bambu  berbahan bakar minyak tanah yang dinyalakan sambil berjalan mengelilingi desa, tidak hanya para bocah angon yang diarak tetapi beberapa kerbau dan diselingi kesenian barongan, layaknya seperti takbir keliling tempo dulu. Sambil berjalan peserta lamporan meneriakkan yel-yel fanatisme lokal persatuan bocah angon desa Bulumanis lor dengan menjelek-jelekkan persatuan bocah angon tetangga desa. Yel-yel ini terkesan memancing perkelahian antar bocah angon satu desa dengan desa yang lain,  penulis masih ingat betul yel-yel kala penulis ikut menyaksikan arak-arakan lamporan ini “ Kebone wong ...... ( menyebut desa lain ) di pangan selo karang ! sorak horee ! “ . selo karang adalah salah satu penyakit kulit semacam panu / kudis yang menyerang hewan ternak seperti kerbau, namun yel-yel ini sudah barang lumrah dalam prosesi lamporan ini.
Selain meneriakkan yel-yel sepenjang jalan arak-arakan, juga di teriakkan mantra-mantra yang bertujuan mengusir roh jahat yang menyusup kedalam ruh kerbau. Sehingga pada waktu penulis masih kecil ada istilah kebo edan yang biasanya kalau sedang kumat sangat berbahaya bagi penggembala, karena kerbau edan tersebut sering bertindak kasar dan suka menyeruduk penggembala.
Setelah arak-arakan ini selesai dan berakhir di depan lokasi kandang pojok mbango, barulah puncak acara dimulai, yaitu acara perang obor yang sangat ditunggu-tunggu. Perang obor ini biasanya di lakukan dengan saling serang sesama penggembala dengan menggunakan obor raksasa yang terbuat dari klaras ( daun pisang yang telah kering ) digulung dan diikat menggunakan dua atau tiga pelepah daun kelapa segar ( blarak ) yang masih utuh, sehingga bisa sepanjang sekitar tiga meteran.
 Obor Blarak

Obor dari blarak dan klaras ini kemudian dibakar dan di hamtamkan kepada penyerang lain, sehingga tumbukan obor raksasa ini meciptakan percikan api yang sangat indah di pekatnya malam hari. Untuk menaggulangi luka bakar akibat percikan api obor ini terlebih dahulu pemain harus melulurkan minyak kelapa yang dicampur dengan minyak tanah keseluruh tubuh. Ternyata luluran minyak ini sangat ampuh menangkal kebakaran dan luka akibat terkena api dari obor ini.
Setelah perang obor ini selesai  seluruh mata acara ditutup dengan makan nasi ambengan bersama sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.

Lamporan nasibmu kini :
            Sudah menjadi takdirnya seiring dengan kemajuan zaman berubahlah zaman dari waktu ke waktu, disaat petani sekarang lebih menggunakan mesin traktor daripada waluku dan garu, itu pula yang menyebabkan tersisihnya peran kerbau sebagai tenaga membajak bagi petani tradisional. Kandang-kandang kerbau yang dulu di tahun 1970 han berjajar rapi di pojok mbango kini telah berubah fungsi menjadi pemukiman penduduk, iring-iringan kerbau berjalan di pematang sawah, kini tak lagi bisa disaksikan. Kebiasaan penulis kecil bernyanyi sambil menaiki punggung kerbau yang sedang digembalakan, kini tak lagi bisa di saksikan lagi. Kerbau-kerbau yang dulu menjadi simbol status sosial bagi pemiliknya, kini telah berubah menjadi sepeda motor dan mobil-mobil yang halus nan mewah. Alat bajak berupa waluku dan garu kini tinggal namanya saja, dan mungkin di desa Bulumanis lor sudah tak lagi bisa dijumpai, dan mungkin di desa-desa lain sekitar Bulumanis lor. Dan itu artinya tradisi lamporan juga lenyap dari bumi Bulumanis lor tercinta.
            Kini tradisi lamporan masih ada dan tersisa tepatnya di desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara, namun dengan format dan nama yang berbeda. Di Tegalsambi lamporan sekarang terkenal dengan sebutan “perang obor” yang di klaim sebagai satu-satunya perang obor di era modern ini, even perang obor ini sekarang berubah fungsi sebagai daya tarik wisata di bulan Dzulhijjah setiap tahunnya.