Minggu, 10 September 2017

Resto Larazeta Surabaya

Larazeta
Mencicipi Sensasi Resto ala Timur Tengah
Fasad Larazeta Surabaya

Saat penulis menjejakkan kaki di Kota Pahlawan Surabaya medio awal Agustus 2017 dalam rangka silaturahmi dan kumpul-kumpul kerumah saudara, penulis berkesempatan diajak keliling kota Surabaya dan mencicipi makan siang di Larazeta, sebuah resto dengan gaya masakan perpaduan India dan Timur Tengah. Resto yang beralamatkan di jalan Biliton 27 Gubeng Surabaya 60281 sekilas sosok bangunannya lebih mirip masjid dan mushola dari pada sebuah resto pada umumnya, bagaimana tidak sisi depan resto ini dibuat dengan pintu masuk seperti plengkungan masjid gaya Timur Tengah, masih dipadu beberapa ukiran khas arabesqu. Jadi sekilas bangunan depan Larazeta tampak seperti masjid atau mushola, bahkan tulisan Larazeta dibuat dengan model font Arab.
Saat penulis dan rombongan memasuki resto Larazeta ini, benar-benar terasa berbeda, mata penulis tak henti-hentinya menatap disemua sudut-sudut bangunan yang sangat kental sekali dengan nuansa Timur Tengah, masih terpana dengan detail dan pengaturan tempat duduknya, penulis juga disodori pemandangan  warna cat keemasan dan merah teracota yang mendominasi seluruh ruang dalam resto Larazeta.
Salah satu sudut dalam Larazeta Surabaya

Ornamen Arabesqu menghiasi salah satu sudut Larazeta Surabaya

Fasilitas yang ditawarkan Larazeta Surabaya ini diantaranya adalah mushola yang cantik, tempat duduk dan meja besar untuk partai  besar, meja bundar dengan kursi yang ditata melingkar, ada deretan kursi panjang yang ditata ditepi tembok dan beberapa dekorasi arabesqu yang mencerminkan ornamen khas Timur Tengah. Pramusaji yang melayani penulis juga menggunakan seragam dan berhijab seperti layaknya pakaian ala Timur Tengah. Resto Larazeta yang di Indonesia cuma ada dua ini   satunya di Jakarta menawarkan menu yang menurut penulis tidak sepenuhnya ala Timur Tengah, melainkan menurut penulis resto ini lebih ke perpaduan antara menu India dan Timur Tengah.
Seperti Hiasan Mihrob Masjid
Langit-langit yang transparan membuat sinar matahari menerobos masuk memberi kesan di padang pasir

Saat rombongan penulis memilih menu yang ditawarkan, ada nama-nama yang sulit dan susah untuk diucapkan, hampir sebagian besar menu yang ditawarkan menggunakan nama berbahasa arab, misal menu Sambusa bil Lahm/Dujaj, Ruz Mandhi bil Lahm, Kuftah kebab, Ruz Zurbian bil Dujaj dan lain-lain dan susah diucapkan.
Untuk menu pembuka rombongan penulis memilih camilan Sambusa bil Lahm/Dujaj, yang mana cemilan pembuka ini lebih mirip dengan kue  pastel basah goreng, Cuma isinya terbuat dari cincang daging kambing halus dengan bumbu kapulaga dan prengus bau kambing yang menyeruak saat digigit, dengan cocolan saos tomat tiga rasa, Sambusa bil Lahm/Dujaj ini dilidah penulis terasa seperti lumpia goreng ala Semarang.
Sambusa bil Lahm yang mirip Lumpia Semarang

Untuk menu utama penulis memilih Ruz Mandhi bil Lahm kalau diterjemahkan kurang lebih “ Nasi Mandhi dengan daging “, sebuah menu nasi mirip kebuli yang ditaburi kismis dengan bumbu kapulaga, cengkih dan sedikit rasa keju kambing, kismis yang penulis kenal biasanya di taburkan pada roti, ini ditaburkan pada nasi dan terasa unik memang. Sampai disini penulis mencermati bentuk nasi yang agak berbeda dari nasi pada umumnya, nasi menu ini agak tipis dan panjang dan mirip potongan bihun, nasi ini dimasak menggunakan rempah rempah ala Timur Tengah dengan sedikit kuah kambing. Untuk daging kambingnya sangat empuk dan mudah diambil dengan sendok garpu, kalau diistilahkan Bahasa Jawa dengan istilah “ Mrotoli “ . menu yang dibandrol Rp. 105.000 per porsi ini menurut ukuran perut penulis sangan besar, satu porsi bisa dimakan untuk dua orang.
Ruz Mandhi bil Lahmi

Untuk  minumnya penulis memilih Milkshake Strowberry meski menu minum yang lain juga banyak diantaranya lemon juice , dan juice kurma madu .


Nah bagi pembaca yang ingin merasakan sensasi masakan ala Timur Tengah dan berlama-lama duduk sambil bercengkerama, silakan datang di Larazeta, jam buka setiap hari pukul 10.00 – 22.00 dan nikmati sensasinya.
Penulis bertopi merah bersama rombongan mencicipi sensasi masakan Timur Tengah di Larazeta

Selasa, 05 September 2017

Nasida Ria



Nasida Ria
Legenda Qosidah Modern Indonesia
 
Formasi awal Nasida Ria dengan kostum jadul
Berbicara tentang perjalanan musik Indonesia, terlebih perjalanan musik qosidah, tentu tak lepas dari group yang satu ini, ya Nasida Ria dari Semarang Jawa Tengah. Sebuah group Qosidah yang yang lahir pada tahun 1975 hasil bidikan dan rintisan tangan dingin H. Moh. Zain yang sampai hari ini masih aksis dan lagu-lagunya tak henti-hentinya diputar di rumah-rumah,  di radio-radio yang berbasis dakwah Islam, ditempat hajatan, pengajian dll.
KH. Moh. Zain ( alm )

Sosok H. Moh. Zain yang lahir pada tahun 1928 di kendal ini, terkenal sebagai guru ngaji qiroah Al-Qur’an di pesantren kecilnya dikomplek Kauman Mustaram Semarang. Sehingga dari pesantrennya  lahir srikandi-srikandi Al-Qur’an yang bersuara emas. H. Moh Zain mendidik para santrinya yang datang dari berbagai daerah  menjadi qari-qari kelas nasional.
Sebelum H. Moh. Zain membentuk group Nasida Ria, H. Moh. Zain sebelumnya telah membentuk group Orkes Gambus Assabab yang lahir pada tahun 1965, dari namanya saja orkes gambus, tentu orkes ini mengadopsi lagu-lagu bertema dan bergenre timur tengah atau yang lebih terkenal dengan sebutan musik padang pasir. personal dari O.G. Assabab terdiri dari laki-laki dan perempuan, sepanjang perjalanan O.G. Assabab ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat, hingga di tahun 1970 O.G. Assabab dinyatakan bubar.
Selain guru ngaji H. Moh. Zain ternyata menyimpan bakat hebatnya dibidang tarik suara, dia terkenal pandai menyanyi dan melantunkan syair-syair padang pasir. Hingga di tahun 1975, H. Moh Zain mengumpulkan beberapa santri putrinya yang dinilai memiliki bakat menyanyi selain memiliki bakat qariah, diantara santri putri itu ada sembilan yang direkrut dan dididik bermain qosidah yakni Muthoharoh, Musyarofah, Alfiyah, Rien Jamain, Nunung, Kudriyah, Nur Ain, Umi Kholifah dan Mudrikah yang tak lain adalah sang istri tercinta dari H. Moh Zain sendiri. Kesembilan formasi awal inilah yang terkenal dengan istilah masternya Nasida Ria.meskipun dalam perjalanannya nanti banyak personal Nasida Ria yang udzur karena sesuatu hal dan diganti personal baru.
Saat Group Nasida Ria  memulai karir diblantika musik kosidah Indonesia, group ini masih menggunakan peralatan ala pesantren, yakni alat musik rebana, tamborin, gitar gambus dan biola, yang pada perjalanan selanjutnya ditambah peralatan modern seperti gitar led, gitar ritmik, bass elektrik, keyboard dan yang lainnya, sehinga alunan musik Nasida Ria lebih modern dan variatif.
Konon penambahan peralatan keyboard ini hadiah dari Walikota Semarang yang kala itu dijabat oleh Iman Soeparto Tjakrajoeda yang tak bukan adalah fans berat Nasida Ria. Tidak hanya di peralatan musiknya saja yang mengalami perubahan, syair dan lagunya yang semula berbahasa arab dan mengadopsi beberapa lagu terkenal kala itu seperti lagu-lagunya Sayyidah Ummi Kulsum dari mesir, berubah menjadi edisi Indonesia. Ini tak lain karena H. Moh. Zain banyak menerima masukan dan saran dari berbagai pihak untuk menggunakan bahasa Indonesia agar syair lagunya dapat diterima semua lapisan masyarakat, kecuali itu ada misi khusus yaitu misi dakwah Islam.
Foto sampul Album Perdana " Ala Baladhil Mahbub "

Yang menjadi istimewa dari group qosidah Nasida Ria ini tak lain dan tak bukan karena personal semuanya perempuan, masih ditunjang dengan oleh vocal yang ciamik hampir merata di semua personalnya karena berlatar belakang dari para qoriah-qoriah, tak cukup disitu semua personal dari group Nasida Ria ini hampir sebagian besar mampu menjalankan peralatan instrumen, mulai dari gendang, tamborin. Seruling, biola, gitar dan keyboard. Yang mana pada era 70 an masih sulit mencari sebuah group yang personalnya perempuan dan mampu menjalankan alat instrument. Dengan kata lain Nasida Ria lahir dan langsung mendobrak kemapanan sebuah group musik yang notabene banyak dihuni oleh kaum adam. Sehingga keberadaannya saat itu melahirkan sebuah genre baru di jagat musik tanah air khususnya genre musik qosidah dengan julukan group qosidah modern.
Sampai ditahun 2017  Nasida Ria telah berumur 42 tahun, dari rentang waktu sejak lahir sampai ditahun 2017 ini Nasida Ria telah mengeluarkan 34 album, suatu prestasi yang luar biasa bahkan dapat dikatakan sebuah Group Legenda. Tentu waktu yang panjang itu terjadi juga pergantian beberapa personal Group Nasida Ria karna faktor alamiyah, tua, meninggal, mengikuti suami dan lain sebagainya.
Penulis sendiri bila mengingat masa-masa awal Group Nasida Ria pada tahun 1977nan dimana saat itu penulis masih duduk dibangku sekolah dasar, ada beberapa lagu yang sangat populer, judulnya wayyak, saking populernya dan model jilbab yang dikenakan group Nasida Ria, kalau ada gadis yang lewat dan berjalan dijalan desa sambil mengenakan jilbab biasanya dipanggil oleh anak-anak muda dengan panggilan “ Wayyak “. Penulis sendiri kala itu juga tidak mengerti apa maksudnya, mungkin merujuk pada jilbab yang dikenakan sang gadis disamakan dengan model jilbab Nasida Ria yang saat itu menjadi tren dikalangan gadis-gadis muslimah.
Sampul Album Kedua " Wayyak "

H. Moh. Zain membawa Group Nasida Ria dikenal dipentas nasional dan  internasional, Nasida Ria sering pentas ke berbagai pelosok tanah air, baik dalam rangka undangan acara resmi lembaga pemerintah dan lembaga swasta,undangan hajatan dan beberapa kali Nasida Ria diundang untuk pentas keluar negeri atas undangan Kedubes RI diberbagai negara.
Sepeninggal H. Moh. Zain yang wafat pada tahun 1992 akibat kecelakaan di Tuban saat akan pentas di Lamongan, kini manager Group Qosidah Nasida Ria berpindah tangan ke H. Choliq H.M. Zain, salah satu putra dari H. Moh. Zain. Markas besarnya dipindah dari Jl. Kauman Mustaram 58 ke Jalan Raya Tugu Semarang.
Penulis ketika ketemu Masternya Nasida Ria Hj. Muthoharoh di Kayen Pati
 
Bersama Hj. Nadliroh salah satu personal awal Nasida Ria
 
Penulis saat ramah tamah bersama group El-sida bentukan Hj. Muthoharoh