Lamporan
Tradisi unik mengusir roh jahat bagi
komunitas “cah angon” kerbau.
Tradisi ini entah siapa yang
memulainya, tapi yang pasti saat penulis masih kecil tradisi ini menjadi salah
satu hiburan tersendiri yang
diselenggarakan setahun sekali. Namun sebelum penulis menceritakan prosesi
lamporan terlebih dahulu ada beberapa istilah populer bagi masyarakat Bulumanis
lor seputar berternak kerbau.
Kebo / Kerbau :
Kerbau (Bubalis carabauesis) adalah
binatang mamalia memamah biak yang menjadi hewan ternak bagi banyak bangsa
didunia terutama di Asia, sebagai binatang ternak, di berbagai belahan dunia
kerbau tidak hanya diambil dagingnya sebagai sumber protein, melainkan juga
diambil susunya sebagai bahan pembuatan keju. Di India daging kerbau menjadi
hasil eksport utama, kecuali itu kerbau di india dimanfaatkan sebagai penarik
andong.
Di Indonesia khususnya di Jawa
kerbau kecuali dimanfaatkan daging, susu, kulit juga dimanfaatkan sebagai
tenaga membajak sawah yang sangat populer sampai saat ini. Membajak sawah dalam
hal ini lebih terkenal dengan istilah “ ngluku dan nggaru “, ngluku
adalah membalik tanah menggunakan alat bajak yang bernama “waluku”.
Sedangkan nggaru adalah meratakan tanah hasil bajakan dengan alat “Garu “
sebelum proses tanam padi. Kerbau ini termasuk binatang ternak yang mudah
berkembang biak, anak kerbau ini sering disebut dengan sebutan “ Gudel “.
Maeso :
Maeso mengambil istilah kirata basa
jawa yang berarti “ omah roso “ atau kalau di Indonesiakan berarti “ rumah
yang kuat “. Mengingat rumah atau kandang kerbau ini harus di desain kuat
dari desakan kerbau yang sangat kuat. Sehingga pembangunan kandang kerbau ini harus
benar-benar kuat, tiang-tiangnya yang
terbuat dari bambu ini harus ditanam dalam tanah yang cukup dalam. Saat ini
kandang kerbau telah tersentuh material
modern semisal genting press dan atap asbes. Namun bagi penulis kecil
kandang-kandang kerbau di Bulumanis lor kala itu semuanya beratapkan rumbia ( welit
).
Bediangan :
Bediangan atau perapian yang
biasanya berguna mengusir nyamuk yang menggigit kerbau ini terbuat dari jerami
atau sisa-sisa makanan kerbau yang sudah tidak dimakan, oleh pemilik kerbau
biasanya dibakar dan menghasilkan asap yang dapat mengusir nyamuk.
Cemplong bolong :
Cemplong bolong adalah sebutir buah kelapa yang dilobangi dan dimakan
hama Bajing, yang umum lobang itu hanya satu namun ada satu kelapa yang
dilobangi bajing sampai dua lobang, dan ini menjadi sesuatu yang tidak umum alias
jarang terjadi. Oleh pemilik kerbau jaman dulu cemplong bolong ini dianggap
memiliki sebuah “ manna “ atau memiliki kekuatan magis. Sehingga
keberadaannya di taruh dalam kandang kerbau sebagai penunggu kerbau. Cemplong
bolong ini biasanya oleh pemilik kerbau di gantung di atap sisi dalam kandang
kerbau. Dan tidak semua kandang kerbau memiliki cemplong bolong ini.
Cah Angon :
Cah angon / anak gembala adalah anak
yang tugas sehari-harinya menggembalakan kerbau di sawah dan sepanjang tanggul
sawah dan tambak, profesi cah angon ini biasanya disandang bagi anak-anak putus
sekolah atau tidak sekolah sama sekali, mengingat menggembala kerbau ini dari
pagi sampai sore hari, dan nyaris tidak mungkin dilaksanakan bagi anak
sekolahan. Sehingga profesi cah angon ini mendapat stigma sebagai bocah/anak
yang tidak mengenal dunia pendidikan,
berperilaku urakan dan semaunya.
Jangos :
Jangos adalah penutup mulut kerbau bila kerbau di giring dipinggir
sawah untuk melindungi agar kerbau tidak memungut padi, hal ini penting
mengingat kerbau sambil berjalan biasanya mampu memungut padi ( nyeot ,jawa
). Dan ini berarti penggembala berisiko dimarahi pemilik padi / sawah.
Lamporan tradisi
yang di lupakan :
Tradisi
ini di era tahun tujuh puluhan awal sangat populer di kalangan petani sawah,
khususnya bagi komunitas cah angon atau penggembala kerbau di berbagai daerah
di jawa. Tak ketinggalan di desa penulis sendiri Bulumanis lor. Tradisi
mengusir roh jahat yang bersemayam pada ternak kerbau ini di kemas dengan aneka
atraksi saling pukul obor antar sesama ( perang obor ).
Arak-arakan Lamporan
Kerbau-kerbau
kala itu tidak boleh di kandangkan di pemukiman penduduk dengan alasan
kebersihan dan pencemaran udara dari bau kotoran kerbau, sehingga kerbau-kerbau
di Bulumanis lor di kandangkan menjadi
satu lokasi di tanah GG ( tanah kosong ) milik desa. Tanah GG itu
dahulu di sebut dengan “ pojok mbango
“. Kebetulan memang lokasi tanah GG itu terletak diujung desa Bulumanis lor
sebelah timur berdekatan dengah lahan sawah dan sungai Bango. Sehingga prosesi
Lamporan start dan berakhir di kawasan
pojok mbango tersebut.
Kesenian Barongan
Prosesi
Lamporan ini biasanya dilaksanakan pada malam hari sehabis magrib, acara
dimulai dengan do’a bersama meminta keselamatan kepada Allah SWT. Agar semua
kerbau-kerbau yang di ternak selamat dari segala mara bahaya, mengingat kerbau
pada waktu itu tenaganya sangat dibutuhkan bagi kelangsungan pekerjaan membajak
sawah. Dalam do’a bersama ini disediakan aneka sesaji dan nasi khas ambengan.
Dalam
prosesi lamporan ini peserta disyaratkan membawa obor bambu berbahan bakar minyak tanah yang dinyalakan
sambil berjalan mengelilingi desa, tidak hanya para bocah angon yang diarak
tetapi beberapa kerbau dan diselingi kesenian barongan, layaknya seperti takbir
keliling tempo dulu. Sambil berjalan peserta lamporan meneriakkan yel-yel
fanatisme lokal persatuan bocah angon desa Bulumanis lor dengan
menjelek-jelekkan persatuan bocah angon tetangga desa. Yel-yel ini terkesan
memancing perkelahian antar bocah angon satu desa dengan desa yang lain, penulis masih ingat betul yel-yel kala
penulis ikut menyaksikan arak-arakan lamporan ini “ Kebone wong ...... (
menyebut desa lain ) di pangan selo karang ! sorak horee ! “ . selo karang
adalah salah satu penyakit kulit semacam panu / kudis yang menyerang hewan
ternak seperti kerbau, namun yel-yel ini sudah barang lumrah dalam prosesi
lamporan ini.
Selain
meneriakkan yel-yel sepenjang jalan arak-arakan, juga di teriakkan
mantra-mantra yang bertujuan mengusir roh jahat yang menyusup kedalam ruh
kerbau. Sehingga pada waktu penulis masih kecil ada istilah kebo edan yang
biasanya kalau sedang kumat sangat berbahaya bagi penggembala, karena kerbau
edan tersebut sering bertindak kasar dan suka menyeruduk penggembala.
Setelah
arak-arakan ini selesai dan berakhir di depan lokasi kandang pojok mbango,
barulah puncak acara dimulai, yaitu acara perang obor yang sangat
ditunggu-tunggu. Perang obor ini biasanya di lakukan dengan saling serang
sesama penggembala dengan menggunakan obor raksasa yang terbuat dari klaras (
daun pisang yang telah kering ) digulung dan diikat menggunakan dua atau
tiga pelepah daun kelapa segar ( blarak ) yang masih utuh, sehingga bisa
sepanjang sekitar tiga meteran.
Obor Blarak
Obor
dari blarak dan klaras ini kemudian dibakar dan di hamtamkan kepada penyerang
lain, sehingga tumbukan obor raksasa ini meciptakan percikan api yang sangat
indah di pekatnya malam hari. Untuk menaggulangi luka bakar akibat percikan api
obor ini terlebih dahulu pemain harus melulurkan minyak kelapa yang dicampur
dengan minyak tanah keseluruh tubuh. Ternyata luluran minyak ini sangat ampuh
menangkal kebakaran dan luka akibat terkena api dari obor ini.
Setelah
perang obor ini selesai seluruh mata
acara ditutup dengan makan nasi ambengan bersama sebagai bentuk rasa syukur
kepada Allah SWT.
Lamporan nasibmu
kini :
Sudah menjadi takdirnya seiring dengan kemajuan zaman berubahlah zaman
dari waktu ke waktu, disaat petani sekarang lebih menggunakan mesin traktor
daripada waluku dan garu, itu pula yang menyebabkan tersisihnya peran kerbau
sebagai tenaga membajak bagi petani tradisional. Kandang-kandang kerbau yang
dulu di tahun 1970 han berjajar rapi di pojok mbango kini telah berubah fungsi
menjadi pemukiman penduduk, iring-iringan kerbau berjalan di pematang sawah,
kini tak lagi bisa disaksikan. Kebiasaan penulis kecil bernyanyi sambil menaiki
punggung kerbau yang sedang digembalakan, kini tak lagi bisa di saksikan lagi.
Kerbau-kerbau yang dulu menjadi simbol status sosial bagi pemiliknya, kini
telah berubah menjadi sepeda motor dan mobil-mobil yang halus nan mewah. Alat
bajak berupa waluku dan garu kini tinggal namanya saja, dan mungkin di desa
Bulumanis lor sudah tak lagi bisa dijumpai, dan mungkin di desa-desa lain
sekitar Bulumanis lor. Dan itu artinya tradisi lamporan juga lenyap dari bumi
Bulumanis lor tercinta.
Kini tradisi lamporan masih ada dan
tersisa tepatnya di desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara, namun
dengan format dan nama yang berbeda. Di Tegalsambi lamporan sekarang terkenal
dengan sebutan “perang obor” yang di klaim sebagai satu-satunya perang
obor di era modern ini, even perang obor ini sekarang berubah fungsi sebagai daya
tarik wisata di bulan Dzulhijjah setiap tahunnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar