Rabu, 20 Maret 2013

Masa Kecilku 2 ( petani sawah )



Petani Sawah Cilik
            Desa Bulumanis lor Margoyoso Pati yang penulis tinggali merupakan wilayah agraris yang mencapai 70 % lahan tambak, 20 % lahan sawah dan 10 % adalah perumahan. Tidak mengherankan bila 50 % penduduk desa Bulumanis lor adalah bermata pencarian sebagai petani tambak sawah dan buruh tani. Seperti yang penulis alami, adalah seorang yang terlahir dari rahim seorang petani jekek ( tulen ), sehingga kehidupan sawah dan tambak dengan  segala tetek-bengeknya begitu familier dalam kehidupan penulis.
            Dulu sehabis sekolah penulis rela tidak bisa mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang diselenggarakan pihak sekolah, masalahnya penulis langsung membantu orang tua di sawah atau ditambak, ini semata-mata demi bhakti penulis pada orang tua. Maka semua pekerjaan petani penulis hampir semua bisa melakukannya semisal :
1.      Idak-idak sawah :
Idak-idak sawah adalah pekerjaan yang dilakukan untuk membenamkan sisa jerami dan rumput menjelang sawah ditanami, idak-idak dari kata “memidak” atau dalam bahasa Indonesia terkenal dengan injak-injak. Idak-idak ini dilakukan bila lahan sawah tanahnya lunak atau pada musim rendengan ( penghujan ), namun bila tanahnya kering/ padat tanah sawah tersebut tidak bisa di idak-idak, biasanya pada musim kemarau.

2.      Pinihan :
Pinihan ini adalah lahan persemaian bibit padi yang terlebih dahulu tanah lahan itu diolah dan diatasnya ditaburi gabah yang telah semi ( keluar bakal bibit padi ). Gabah padi ini terlebih dahulu dijemur dipilih yang kualitas baik dan tidak gabug (kosong), kemudian direndam lebih kurang dua hari dua malam, setelah ditiris rendaman gabah tersebut kemudian dimasukkan dalam zak atau wadah yang hangat. Oleh proses alam gabah padi itu kemudian berkecambah dan kecambah padi tersebut kemudian di tebar diatas pinihan yang telah berlumpur, yang selanjutnya kecambah padi  tumbuh menjadi bibit padi yang kemudain baru dicabut ( ndaut ) setelah cukup umur.
 Macul (foto repro)

3.      Macul :
Macul adalah pekerjaan membalik tanah dengan bantuan pacul, pekerjaan ini dibutuhkan tenaga yang ekstra, mengingat macul ini pekerjaan mengayuh pacul dan sekaligus mengangkat tanah yang berhasil di pacul selanjutnya melempar tanah di bagian yang sudah dipacul.
 Penulis kecil sering bonceng di garu ini ( foto repro )


4.      Ngluku dan Nggaru :
Ngluku dan nggaru ini dalam bahasa Indonesia terkenal dengan istilah membajak sawah, yaitu suatu pekerjaan yang menggunakan bantuan tenaga sepasang kerbau untuk membalik tanah dan meratakan tanah menjelang lahan sawah akan ditanami, ngluku dan nggaru ini merupakan pekerjaan yang paling penulis senangi waktu penulis masih anak-anak, sewaktu orang tua melaksanakan ngluku dan nggaru ini penulis sering membonceng garu yang sedang ditarik kerbau.
 Cabut benih / ndaut (foto repro)

5.      Ndaut :
Ndaut adalah mencabut wineh ( bibit padi pada lahan persemaian ) dari pinihan yang akan ditanam keesokan harinya pada lahan sawah yang telah selesai di olah, pekerjaan ini paling membosankan bagi penulis kecil, mengingat ndaut harus dilakukan dengan cara jongkok dan terendam air yang bercampur lumpur, sehingga rasa-gatal-gatal sering hinggap di bokong. Setelah cukup banyak bibit yang berhasil dicabut barulah diikat dan dicuci menghilangkan lumpur sisa yang masih terbawa bibit padi di sungai.

6.      Banjari :
Memikul bibit padi yang telah dicuci dengan jalan di tusuk tengahnya dengan banjaran ( galah ) kemudian disebar di lahan sawah inilah yang disebut dengan istilah banjari. Pekerjaan ini cukup berat mengingat berjalan di lahan sawah yang lunak sambil memanggul banjaran, sehingga pada waktu penulis masih kecil dalam melakukan pekerjaan ini sering jatuh bangun.

 Tandur, noto karo mundur (foto repro)
7.      Tandur :
Tandur atau menanam padi adalah pekerjaan yang tidak sembarangan orang bisa melakukannya, artinya hanya orang khusus dan terlatih yang mampu melakukan pekerjaan ini. Tandur biasanya dibantu dengan alat yang bernama “ keler”, keler ini terbuat dari tali dan bilah bambu yang saling mengait, sehingga panjangnya bisa mencapai 100 san meter. Fungsi keler ini untuk menuntun penanam padi agar hasil tanamannya rajin dan memiliki jarak yang tepat.
Disebut tandur berasal dari kirata basa jawa yang berarti “ Noto karo mundur “ ( menata sambil mundur ). Penulis sendiri mampu melakukan pekerjaan ini, namun kalau dinilai hasilnya kurang bagus, dan hasil wiwirnya tidak sama. Wiwir adalah banyaknya helai padi yang ditanam, biasanya satu wiwir berisi 2-3 bibit padi yang ditanam.

8.      Matun :
Matun ini dikenal dengan istilah membuang rumput / gulma yang tumbuh disekitar padi, agar padi tumbuh sempurna maka gulma ini harus dibuang, kalau tidak dibuang akan menghabiskan nutrisi tanah yang seharusnya dimakan padi. Matun ini dilakukan dengan tangan.


Ngosrok srok-srok (foto repro)


9.      Ngosrok :
Ngosrok fungsinnya hampir sama dengan matun, Cuma bedanya ngosrok ini menggunakan alat yang bernama “ Osrok “. Osrok ini terbuat dari bilah kayu berbentuk huruf T dan bawahnya adalah sebungkah kayu yang alasnya di kasih paku sekitar 20 biji sebagai alat untuk melumat rumput dan tanah. Keuntungan ngosrok ini tanah menjadi gembur dan pertumbuhan gulma menjadi terkendali, ngosrok ini dilakukan dengan jalan didorong kedepan dan sesekali ditarik kebelakang dan didorong kembali berulang-ulang sambil berjalan. Kenapa disebut osrok ini tak lain bunyi yang ditimbulkan alat osrok ini dalah berbunyi “ srok-srok-srok-srok “ sehingga nama alat ini diberi nama osrok.

10.  Ngemes :
Ngemes adalah pekerjaan memupuk tanaman padi berumur sekitar 3 minggu sejak masa tanam, dan menjelang padi meteng atau masa berbunga. ngemes ini adalah pekerjaan menabur pupuk buatan pabrik berwarna putih dan kristalnya berbentuk bulat kecil  lebih besar dari kristal gula pasir. Waktu penulis kecil para petani dulu tidak mengenal pupuk buatan pabrik, biasanya petani kalau memupuk sawah menggunakan pupuk kandang, akan tetapi biasanya pupuk kandang ini stoknya terbatas, dan akhirnya petani banyak yang beralih ke pupuk buatan pabrik, meskipun pupuk pabrik ini dalam jangka panjang penggunaannya akan mengurangi kesuburan tanah. Disebut “ ngemes “ karena pupuk buatan pabrik ini bila lama tidak segera di tabur dan terkena udara, pupuk ini akan mengeluarkan air (dalam bahasa jawa disebut ngumes), maka pupuk ini terkenal dengan sebutan “emes”.

 Nyempret (foto repro)

11.  Nyempret :
Nyempret ini adalah menyemprotkan pestisida pada hama padi yang berupa: wereng, belalang, ulat, tungau dll. dengan alat semprot. Yang membedakan semprot sekarang dengan masa penulis kecil adalah bahannya. Sekarang bahan semprot menggunakan pestisida buatan pabrik yang sangat berbahaya bagi lingkungan, sedangkan pada masa penulis kecil kalau mau nyemprot biasanya menggunakan bahan-bahan alami yang tidak berbahaya bagi lingkungan misalnya :
-          akar toba yang ditumbuk dan disaring airnya
-          air rendaman tembakau
-          air rendaman gadung, gedung semacam umbi yang dihasilkan dari tanaman gadung.
   
12.  Mbanyoni :
Mbanyoni dari kata banyu / air, mbanyoni berarti mengalirkan air kedalam sawah bila sawah tersebut mengalami kekeringan, dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan tukang pembagi air sungai ( ladu ), memasukkan air ini diatur penggunaannya berdasarkan jadwal yang telah disusun oleh ladu dan kelompok tani.

 Gubug sawah sebagai tempat berteduh ( foto repro )
13.  Tunggu :
Tunggu dalam bahasa Indonesia adalah menunggui padi yang sedang berbunga ( ambyar/padi mulai berisi ), tunggu dalam hal ini menunggui padi dari serangan burung pipit, manyar, dan peking. Biasanya petani membuat gubug yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia sebagai tempat berteduh berbentuk panggung. Tidak hanya gubug yang dibuat, akan tetapi orang-orangan, rumbai-rumbai,dan bunyi-bunyian, dalam istilah jawa terkenal dengan sebutan “ Weden “ yang berarti wedi atau takut, karena fungsi weden ini adalah untuk menakut-nakuti burung pemakan padi.

Weden sawah yang meriah

Weden ini akan berfungsi bila ditarik dengan sebuah tali yang terbuat dari bilah bambu yang dibelah tipis sehingga membentuk sebuah tali, dalam bahasa jawa tali ini disebut dengan istilah “Senteng “ . senteng inilah yang dipakai menarik weden dari dalam gubug sehingga burung yang hinggap di padi langsung kabur karena takut. Masa tunggu ini bisa mencapai 3 minggu semenjak padi ambyar sampai padi menguning dan siap di panen. Masa tunggu ini adalah masa-masa terindah bagi seorang petani, tak terkecuali penulis kecil. Masa tunggu ini bisa dipakai sebagai wahana rekreasi, belajar bawa buku di gubug, tukar bekal antar sesama petunggu, bahkan masa tunggu berubah menjadi masa perkenalan dengan gadis-gadis tetangga sawah dan saling bercengkrama didalam gubug, bahkan tak jarang setelah dewasa berlanjut ke pelaminan.
Waktu tunggu ini boleh dikata seharian penuh, berangkat ke sawah menjelang matahari terbit dan pulang dari sawah menjelang matahari tenggelam.

 Sego Buceng persembahan kepada Dewi Sri (foto repro)
14.  Wiwit ( Dhisik / dahulu ):
Wiwit ini adalah budaya hindu jawa yang diakulturasi dengan budaya  Islam (shodaqoh/tasyakuran), wiwit ini adalah prosesi awal masa panen padi dengan didahului membawa sesaji ke pojok lahan sawah yang akan di panen keesokan harinya. Wiwit ini didahului dengan ngawin padi, dalam ngawin padi ini diambil tiga dapur padi yang kemudian diikat menjadi satu, kemudian dibawahnya ditaruh nasi buceng, nasi buceng ini dimasak dengan diliwet ( ditanak dalam kuali ) dengan lauk pauk sambel gebel. Sambel gebel ini adalah masakan khas untuk wiwit dengan bahan ikan gerih petek (ikan kering) yang dibakar dan dikasih sambal terasi serta tumbukan kacang tolo yang di sangrai sebelunya, selain sambal gebel ini biasanya ditambah dengan sebutir telur ayam jawa yang di rebus.
Dalam wiwit ini juga disertakan kembang bureh dan sepasang sisir dan kaca cermin. Menurut cerita orang tua penulis, dalam  mitologi  jawa di kenal Dewi Sri/Dewi Sang Hiyang Asri ( dewi kesuburan ). Dewi Sri ini adalah dewi yang sangat cantik berambut panjang gemulai yang  menguasahi dan mengatur bahan pangan, menjaga padi sejak masa tanam sampai masa panen, sehingga setelah panen padi menjadi kekuasaan petani. Dewi Sri ini dimuliakan sejak masa kerajaan kuno ditanah Jawa seperti Padjajaran dan Majapahit.
Dewi Sri selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik, ramping tapi bertubuh sintal dan berisi, dengan wajah khas kecantikan alami gadis asli Nusantara. Mewujudkan perempuan di usia puncak kecantikan, kewanitaan,  dan kesuburannya.
Kebudayaan adiluhung Jawa dengan selera estetis tinggi menggambarkan Dewi Sri seperti penggambaran dewi dan putri ningrat dalam pewayangan. Wajah putih dengan mata tipis menatap ke bawah dengan raut wajah yang anggun dan tenang. Serupa dengan penggambaran kecantikan dewi Sinta dari kisah Ramayana.

Untuk menghormati jasa Dewi Sri ini, maka pada prosesi wiwit selalu disediakan sisir dan kaca cermin, dikandung maksud agar Dewi Sri ini bisa istirahat dan bersisiran merapikan rambutnya. Kisah ini dulu penulis protes pada orang tua, mengingat tradisi wiwit ini mengandung unsur syirik.  Wiwit ini biasanya dilaksanakan setelah matahari tenggelam dan kemudian kesokannya padi baru bisa dipanen dengan terlebih dahulu mencabuti weden. Wiwit ini dahulu sering mengajak anak-anak untuk “ gagahi “ nasi buceng, gagahi mengandung arti menikmati nasi buceng setelah terlebih dahulu dimakan Dewi Sri, namun seperti yang penulis saksikan sendiri, Dewi Sri ternyata juga tak nampak batang hidungnya, apalagi sampai makan nasi buceng dan sisiran segala, kalau sampai nampak dan sisiran penulis juga mau kok ambil dia sebagai istri, he..he...

          Dewi Sri dalam mitologi Jawa (foto repro)

Panen Padi (foto Tempo)
15.  Panen :
Panen padi pada waktu penulis kecil tidak seperti panen padi pada saat ini, dimana panen padi saat ini menggunakan teknologi yang lebih modern, lebih cepat dan sedikit melibatkan orang. Berbeda dengan panen padi kala itu, masih menggunakan peralatan seadanya, melibatkan banyak orang kurang lebih 30 han orang. Kecuali itu varitas padi dulu dengan sekarang berbeda, dulu varitas padi terkenal dengan varitas unggul semisal Rojolele, Mentik, dan Ketan yang berumur lebih lama dibandingkan dengan varitas padi zaman sekarang, dengan bulir dan tangkai yang panjang dan berambut ( bersungut ). Sedangkan varitas padi zaman sekarang lebih didominasi varitas padi yang berumur pendek semisal IR 46, Pelita, Cisadane, Membramo dll, dengan bulir dan tangkai padi yang pendek tak berambut. 

Gadis pemetik padi dengan ani-ani di sanggul kepala (foto repro)
Ani-ani dan penggunaannya (foto repro wikipedia)
Foto by Michael Freeman



Maka cara memanenpun berbeda, panen padi sekarang menggunakan sabit dan dan parang sebagai alat memanen padi dan langsung di Dos, Dos adalah alat yang terdapat silinder berpaku yang diputar untuk merontokkan padi dari tandan padi. Sedang zaman penulis kecil menggunakan alat panen yang bernama “ ani-ani “, ani-ani ini terbuat dari papan tipis berukuran 12x5 cm yang dipakai untuk menancapkan semacam pisau kecil dan disambung dengan bambu berdiameter 2 cm dengan panjang 12 cm sebagai pegangan pemanen. Ani-ani ini dulu sangat populer dimasa itu, untuk bisa memanen padi diperlukan keahlian khusus untuk menggunakannya, salah-salah bisa tangan kita yang berdarah-darah.
Setelah bulir-bulir padi selesai dipanen kemudian dijadikan satu dan diikat, ikatan padi ini lebih terkenal dengan sebutan “ ayaran padi “.

 Mocok Derep (foto repro)
16.  Derep :
Derep ini adalah pekerjaan membantu tetangga yang panen dengan dikasih upah seperempat atau sepertiga bagian dari hasil derep, upah dari derep ini terkenal dengan sebutan “derepan”, tidak banyak memang tetapi inilah merupakan bentuk-bentuk kerukunan masyarakat pedesaan kala itu, yang mungkin sudah tidak bisa dijumpai lagi dizaman sekarang ini. Derep ini dulu tidak memakai undangan, melainkan bila tetangga sedang panen, maka secara otomatis banyak tetangga sebelah yang mengikuti derep ini, dan tradisi kerukunan ini berlaku berabad-abad yang lalu. Derep biasanya lebih didominasi oleh kaum hawa, mengingat kaum hawa lebih bersabar dan teliti dalam memanen padi.

17.  Usung-usung :
Usung-usung ini dari kata mengusung yang berarti memindah/menggotong padi yang sudah berupa ayaran ke rumah dengan jalan digendong menggunakan selendang yang diikatkan pundak pengusung, usung-usung ini biasanya melibatkan banyak orang sesuai dengan banyak orang yang memanen (memanen sekaligus mengusung ), usung-usung ini waktu penulis masih kecil sambil menyanyikan sebuah lagu yang cukup populer kala itu :

-          Sung-sung tapihe lerek-rek ( pengusung bertapih / jarit motif lerek)
-          Nyunggi pasung-sung  ( menggendong dunak/pasung = wadah dari bambu )
-          Diambung singkek ( dicium singkek = perawan cina ) 

Lagu ini dulu dinyanyikan sambil berjalan beriringan meniti tanggul sawah dan sepanjang jalan desa menuju rumah pemilik, entah apa maksudnya arti dari lagu ini, mungkin dengan lagu ini perasaan lelah dan capek tidak terasa. sesekali usungan ini banyak yang jatuh dan rontok yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan para ayam untuk memperebutkan rontokan padi ini. Sehingga sepanjang jalan usungan ini biasanya dipenuhi beberapa ayam milik tetangga. 
18.  Ngasak :
Ngasak ini adalah mencari bulir/tandan padi yang tertinggal dilahan sawah yang habis di panen, atau mencari rontokan dan jatuhan bulir padi sewaktu di usung di jalanan, biasanya yang mencari asakan ini adalah anak-anak, karena hasil asakan ini dapat di barter dengan aneka jajanan semisal : Getuk Wayang, Gelali, Jagung rebus, Cendol, dan jajanan pasar yang lain. Jangan lupa dulu waktu panen juga banyak pedagang jajan yang terkenal dengan sebutan “bakul sawah” yang hadir dengan membawa aneka jajanan pasar. Biasanya bakul sawah ini akan barter jajanan dengan padi. Penulis juga mengalami ngasak ini, sebab hasil dari ngasak ini berbuah jajan yang enak, jajan kala itu tidak sebanyak dan berfariasi zaman sekarang, jajan ini akan dinikmati secara gratis tanpa uang hanya dengan berter padi kala musing panen saja.

 Ayaran : ikatan padi sedang dijemur (foto repro)
19.   Mepe pari :
Mepe pari ini adalah pekerjaan menjemur padi yang masih ayaran, mepe pari ini ada dua cara, yang pertama bila musim panas padi yang masih ayaran ini langsung di jemur dibawah sinar matahari secara langsung sampai kering, biasanya setelah ayaran padi ini kering para petani biasanya menyimpannya dalam lumbung padi, lumbung padi adalah semacam gubug yang dipakai menyimpan padi kering dalam bentuk masih ayaran. Yang kedua adalah mensangrai padi yang sudah di rontokkan terlebih dahulu dengan wadah ngaron ( kuali besar dari tanah ) dengan bantuan api, mensangrai padi ini terkenal dengan sebutan “ Mbunul “. Mbunul ini dilakukan bila tidak ada sinar matahari atau pas pada musim penghujan.

20.  Nruntoi :
Ngruntoi ini adalah pekerjaan merontokkan padi yang masih ayaran untuk ditumbuk dalam lesung dengan bantuan alu atau diselep menjadi beras, dalam konteks sekarang ngruntoi ini sudah tidak dijumpai lagi, mengingat padi sekarang dipanen langsung di geblok (di rontokkan dengan perontok padi) atau langsung di dos di lahan sawah.

 Nutu padi (foto repro)
21.  Nutu/ Ndeplok pari :
Menumbuk padi dalam lesung dengan bantuan alu ini terkenal dengan istilah “Nutu / Ndeplok pari “. Nutu pari ini bertujuan memisahkan kulit padi dari isi padi yang kemudian di tampi dengan tampah, tampi adalah melontar padi ke atas dan jatuh kembali ke dalam tampah, sehingga kulit pari atau rambut padi ini terbuang secara otomatis tertiup angin. dan beras yang telah bersih dari kulit padi ini akan mengelompok dalam tampah. Sedangkan tampah adalah sebuah alat yang terbuat dari jalinan bambu berbentuk bundar dengan diameter 80 cm menyerupai nampan seng pada saat ini.


Tampah



 Napeni gabah (foto repro)
Nutu / ndeplok padi ini sekarang sudah digantikan dengan mesin selep padi, dari nutu dan selep padi ini akan menghasilkan barang berupa :
-          Beras yang kita makan sebagai bahan makanan pokok
-          Kulit padi atau sekam/rambut padi yang digunakan sebagai bahan campuran membuat bata dan sebagai  bahan bakar membakar bata dan gerabah.
-          Bekatul yang dipakai bahan baku pembuatan makanan ternak.


Gropyok tikus (foto jibi photo)
22.  Ngajak tikus :
Ngajak tikus ini populer disebut gropyok tikus, pekerjaan ini akan lebih mudah dilakukan sehabis musim panen, mengingat lahan sawah sudah kosong dan mudah mengejar tikus yang di gropyok. Gropyok tikus ini ada dua cara :
-          Dengan jalan digali lobangnya dengan pacul atau ganco dengan peserta yang lain sebagai tukang gropyok atau tukang pukul bila tikus yang digali ini melarikan diri dikejar beramai-ramai dan dipukuli sampai tikus itu mati.
-          Dengan jalan dikompori lobangnya dengan alat penyemprot asap, tikus akan keluar dari lobangnya karena tidak kuat menahan asap yang masuk di lobangnya.
Pekerjaan gropyok tikus ini sangat ramai sekali, satu tim penggropyok bisa sampai 5-7 orang, pekerjaan ini akan lebih mudah bila dibantu dengan tenaga dari angjing pengejar.














2 komentar:

  1. tulisan yang informatif sekali, jadi mengerti kehidupan petani di desa... saya bayangin, menyenangkan juga ya kehidupan mas dulu di desa. ijin simpan. makasih.

    BalasHapus